TUGAS
TERSTRUKTUR
PENGELOLAAN HAMA
DAN PENYAKIT TERPADU
AGT (311)
Pengelolaan
Penyakit Terpadu Penyakit Busuk Umbut Pada Kelapa (Cocos nucifera) oleh Cendawan Phytophthora
palmivora

Oleh :
Nama : 1.
Triana Dewi H (A1L014105)
:
2. Rizki Novandi (A1L014111)
KEMENTERIAN
RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
PURWOKERTO
2016
1.
Arti
Penting Penyakit
Kelapa (Cocos nucifera) adalah satu jenis
tumbuhan dari suku aren-arenan atau Arecaceae dan adalah anggota tunggal dalam
marga Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan
hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba
guna, khususnya bagi masyarakat pesisir. Kelapa secara alami tumbuh di pantai
dan pohonnya mencapai ketinggian 30 m. Tumbuhan ini berasal dari pesisir
Samudera Hindia, namun kini telah tersebar di seluruh daerah tropika. Tumbuhan
ini dapat tumbuh hingga ketinggian 1000 m dari permukaan laut, namun akan
mengalami pelambatan pertumbuhan namun dalam budidayanya tanaman kelapa tidak
pernah terlepas dari serangan hama dan penyakit.
Penyakit busuk umbut
kelapa (Penyakit Busuk Pucuk) merupakan penyakit penting tanaman kelapa di
Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora (Butler) Butler yang dapat mengakibatkan
tanaman mati dan buah gugur muda. Penyakit busuk umbut kelapa pertama kali
dilaporkan menyerang tanaman kelapa di Indonesia pada tahun 1985, yang
diidentifikasi penyebabnya adalah P.
palmivora (Bennett et al., 1986). Selama kurun waktu ini, serangan kedua
penyakit ini telah ditemukan dihampir semua areal pertanaman kelapa di
Indonesia, dengan kerugian hasil diatas 80% (Darwis 1992). Serangan penyakit
ini banyak dihubungkan dengan adanya inroduksi kelapa hibrida PB-121 (MAWA)
dari Afrika Barat yang kenyataannya dilapangan sangat peka.
Di Indonesia, cendawan P. palmivora adalah agen utama penyebab
busuk umbut kelapa (Blaha et al., 1994; Waller dan Holderness 1997), walaupun
demikian ditemukan juga spesis P. arecae
dan P. nicotianae berasosiasi dengan
penyakit ini (Thevenin 1994). Serangan penyakit busuk umbut kelapa sangat
banyak dijumpai pada musim penghujan karena dapat menunjang perkembangan
penyakit. Di lapangan kedua penyakit ini jarang ditemukan berada pada satu pohon
walaupun penyebab penyakitnya sama. Lolong et al., (1998) menyatakan bahwa pada
beberapa daerah kehilangan hasil oleh busuk pucuk berupa tanaman mati dapat
mencapai 43% dan gugur buah dapat menyerang buah muda dan gugur pada umur buah
3-7 bulan dengan kehilangan hasil mencapai 50-75% Menurut Renard dan Darwis
(1992) bahwa kerusakan buah banyak terjadi pada tandan buah muda pada saat
musim hujan. Kontak infeksi terjadi menyebar secara horizontal antar tandan
buah atau secara vertikal yaitu antar buah dalam tangkai buah.
Permasalahan ini masih
terus berlangsung dan bahkan pada beberapa daerah dilaporkan bahwa serangan
penyakit busuk umbut kelapa telah dapat menyerang jenis kelapa Dalam yang
sebelumnya dilaporkan tahan. Sampai saat ini cara pengendalian untuk penyakit
busuk umbut kelapa sulit dilaksanakan karena tanaman yang telah terserang dapat
langsung mati atau tidak dapat disembuhkan. Oleh sebab itu saat ini dianjurkan
untuk melakukan tindakan pencegahan baik dengan cara sanitasi tanaman dan kebun
juga perlakuan dengan bahan kimia untuk tanaman disekitarnya. Keberhasilan
suatu tindakan pencegahan adalah dapat juga ditentukan dengan kemampuan dalam
mengetahui siklus hidup dari patogen dan termasuk juga biologi dari patogen
penyebab penyakit tersebut. Pengetahuan ini akan dapat digunakan untuk membantu
pengambilan keputusan cara atau teknik pengendalian yang tepat digunakan
terhadap penyakit tersebut
2.
Gejala
Penyakit
Gejala
serangan Penyakit busuk umbut kelapa
adalah terjadinya perubahan warna daun pada bagian pucuk terutama pada daun
tombak yang belum terbuka dan daun disekitarnya. Perubahan warna terjadi secara
cepat dengan warna daun muda menjadi pucat dan tidak berkilau bila kena sinar
matahari. Daun muda kemudian menjadi bengkok dan layu, dan diikuti dengan
mengeringnya daun-daun ditajuk bagian tengah, selanjutnya daun-daun tersebut
patah dekat bagian pangkal dan membusuknya jaringan di bawah petiole yakni pada
bagian titik tumbuh.


Gambar : Gejala penyakit busuk umbut kelapa
Sumber
: Ditjenbun.pertanian.go.id
3.
Penyebab
Penyakit
Penyebab dari penyakit
busuk umbut kelapa yaitu cendawan Phytophthora palmivora. Genus Phytophthora adalah genus cendawan yang
bersifat kosmopolitan dan mempunyai lebih kurang 60 spesies sebagai patogen
tanaman. Termasuk didalamnya adalah spesies P.
palmivora yang pada klasifikasi morfologinya termasuk dalam kingdom
Chromista, phylum Oomycota dan ordo Peronosporales dan famili Oomycetes
(Hawksworth et al., 1995; Edwin dan Ribeiro, 1996). Kunci dari ciri-ciri
morfologi dari P. palmivora secara
umum didasarkan pada alat reproduksi aseksual yaitu sporangia dan seksualnya
dengan oospore. Sporangia dengan karakter yang mempunyai papila dan
kadang-kadang dapat juga spherikal, ovoid atau obtubinat dengan ratio L:B :
1.2-1.5 : 1, caducous dengan tangkai pedisel pendek. Oospore adalah amphigynous
antheridia.
Caducous sporangia dan
zoospore merupakan organ penting dalam perkembangan dan penyebaran inokulum
cendawan dalam menginfeksi tanaman dilapangan tersebut. Sporangia P. palmivora dapat terpencar oleh adanya
percikan air hujan. Inokulum dapat terbawa dan disebarkan oleh semut dan tikus
(Newhook dan Jackson, 1977). Demikian juga yang terjadi pada tanaman kelapa
bahwa inokulum dapat terbawa ke bagian atas tanaman atau antar tanaman dan buah
oleh serangga (Oryctes dan semut) serta tikus (Bennett et al., 1986; Lolong,
2002).
Hampir semua spesies
dari Phytophthora merupakan patogen
atau penyebab penyakit pada tanaman. Hal ini dimungkinkan karena beberapa
faktor seperti:
- Kemampuan untuk memproduksi bermacam spora seperti
sporangia dan zoospora untuk mempertahankan hidup dalam waktu singkat,
klamidospora dan oospora untuk mempertahankan hidup dalam waktu lama.
- Sporulasi yang cepat pada jaringan tanaman, hanya
berkisar 3-5 hari untuk menginfeksi. Hal ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan inokulum sekunder dalam multi siklus, dan akan cepat menular pada
kondisi lingkungan yang cocok.
- Kemampuan zoospora Phytophthora untuk mengatraksi
ujung-ujung akar melalui stimulus kimiawi.
- Kemampuan untuk bertahan hidup di dalam maupun di
luar jaringan tanaman dalam bentuk oospora atau klamidospora untuk waktu yang
lama.
- Produksi
sporangia yang dapat tertular melalui udara, angin, dan air irigasi ke kebun
disekitarnya. Sporangia ini dapat langsung menginfeksi jaringan tanaman,
sporangia-sporangia tersebut juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan 4-32
zoospora pada daerah yang lembab dan dingin, dan dapat menginfeksi berkali-kali
dari satu sporangia.
4.
Siklus
Penyakit
Phytophthora
pada dasarnya merupakan patogen tanah meskipun beberapa spesies termasuk P. palmivora dapat menginfeksi
bagian-bagian tanaman di atas permukaan dan menyebabkan penyakit seperti
kanker, busuk pucuk, busuk buah, dan gugur buah. Inokulum primer mengawali
terjadinya epidemi penyakit apabila kondisi lingkungan menunjang
perkembangannya. Inokulum primer dari Phytophthora
mempertahankan diri dalam bentuk miselium dan klamidospora dalam akar yang
terinfeksi, tanah, batang, dan buah. Misalnya pada buah yang tidak dipanen dan
mengeras akan terbentuk sporangia pada waktu musim dingin dan menularkan inokulum
pada buah di bawahnya setiap kali terjadi hujan dan berlangsung dalam waktu
yang lama.
Setiap kali kondisi
lingkungan kondusif untuk penyakit, inokulum primer akan berkecambah dan
melakukan infeksi. Jika infeksi tersebut berlangsung dengan baik maka generasi
baru dari inokulum sekunder akan terbentuk dan merupakan pemicu terjadinya
epidemi. Laju propagasi dan berhasilnya propagul Phytophthora menyebabkan infeksi baru menunjukkan kurva peningkatan
penyakit, sedangkan eksplosi epidemik disebabkan oleh peningkatan inokulum
sekunder secara cepat.
Sporangia dari
kebanyakan spesies Phytophthora palmivora
dapat berkecambah jika terdapat air bebas baik di tanah, kolam, atau uap
air di permukaan tanaman dan melepas sekitar 30 oospora. Zoospora berenang dan
melakukan penetrasi ke bagian tanaman melalui stomata. Perkembangan sporangia
secara tidak langsung melalui pelepasan zoospora sangat umum terjadi pada genus
Phytophthora, beberapa spesies
diantaranya dapat berkecambah secara langsung membentuk tabung kecambah sebagai
jaringan yang menghubungkan dengan permukaan tanaman inang kemudian melakukan
penetrasi dan menginfeksi tanaman.
Caducous sporangia dan
zoospore merupakan organ penting dalam perkembangan dan penyebaran inokulum
cendawan dalam menginfeksi tanaman dilapangan tersebut. Sporangia P. palmivora
dapat terpencar oleh adanya percikan air hujan. Inokulum dapat terbawa dan
disebarkan oleh semut dan tikus (Newhook dan Jackson, 1977). Demikian juga yang
terjadi pada tanaman kelapa bahwa inokulum penyakit dapat terbawa ke bagian
atas tanaman atau antar tanaman dan buah oleh serangga (Oryctes dan semut)
serta tikus (Bennett et al., 1986; Lolong, 2002).
Siklus hidup dari P. palmivora dapat dilihat pada Gambar
3. Dalam proses reproduksinya dapat terjadi dalam 2 fase yaitu aseksul
(diploid) dan seksual. Semua isolat P. palmivora adalah biseksual yakni dapat
membentuk kedua alat seksual reproduksi jantan dan betina atau gametangia. Oleh
sebab itu spesies ini lebih dikenal dengan sistem mating tipenya adalah
bersifat heterotalik yang berarti membutuhkan dua bentuk mating A1 dan A2 dalam
memproduksi gametangia (oospore). Proses ini dapat berlangsung pada substrat
tanaman ataupun didalam tanah bila lingkungan sangat cocok untuk melakukan
reproduksi. Menurut McAlpine (1910) bahwa siklus hidup P. palmivora dari sporangium ke sporangium baru dapat terjadi dalam
7 jam.
Semua isolat Phytophthora potensial memiliki
reproduksi ganda (biseksual) yang memungkinkan memproduksi struktur seksual
jantan dan betina, atau gametangia (Galindo dan Gallegly, 1960). Namun demikian
hanya setengah dari genus Phytophthora
merupakan spesies homotalik dan dapat memproduksi oospora secara cepat dalam
jumlah yang banyak pada kultur tunggal. Spesies lainnya merupakan heterotalik
spesies yang memproduksi gametangia sebagai respons terhadap stimulasi kimiawi
dari satu isolat dengan mating type yang berlawanan (Brasier, 1992; Ko, 1978).
Sistem yang berlangsung
pada spesies yang heterotalik dengan melibatkan mating type A1 dan A2 dan
terjadi secara umum pada genus Phytophthora.
Spesies yang homotalik ternyata secara invitro melakukan silang luar dengan
level yang rendah (Whisson et al., 1994), sedangkan spesies yang heterotalik
melakukan silang dalam dengan level yang rendah (Godwin et al., 1994).
Reproduksi seksual
memiliki sejumlah peran dalam siklus hidup
P. palmivora, dan memungkinkan terjadinya rekombinasi allel pada spesies
yang heterotalik, sedangkan pada kedua spesies baik heterotalik maupun
homotalik, oospora dapat berperan sebagai struktur yang dapat bertahan hidup
dalam waktu lama di luar tanaman inang. Oospora juga dapat menginfeksi jaringan
tanaman dalam kondisi lingkungan yang panas dan kering.
5.
Faktor
yang paling berpengaruh terhadap perkembangan penyakit
Jumlah curah hujan
tahunan berkorelasi nyata dengan tingkat serangan penyakit busuk pucuk. Makin
tinggi curah hujan tahunan suatu daerah makin tinggi pula serangan penyakit.
Tingkat serangan penyakit usuk umbut kelapa selain dipengaruhi oleh jumlah
curah hujan tahunan, juga ditentukan oleh penyebaran jumlah curah hujan
tahunan. Makin banyak bulan berurutan dengan curah hujan > 200 mm/bulan
makin tinggi serangan penyakit (Akuba et al., 1991). Jumlah curah hujan
menentukan kadar air tanah. Weste (1983) mengemukakan bahwa kadar air (tanah
dan udara) merupakan unsur penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi
Phytophthora sp. Tingkat kadar air
yang tinggi di tanah dan udara menyebabkan peningkatan kelembaban udara dan air
bebas di permukaan tanaman. Pembentukan dan penyebaran spora P. infestans dan P. palmivora terjadi pada kelembaban udara yang tinggi. Penelitian
di KP. Paniki, Sulawesi Utara menunjukkan bahwa persentase gugur buah pada
kelapa Genjah Kuning Nias yang disebabkan oleh P. palmivora meningkat secara proporsional dengan meningkatnya
kelembaban udara, sedangkan kelembaban udara sangat dipengaruhi oleh curah
hujan (Nursuestini, Barri dan Bobihoe, 1988).
Karakteristik tanah di
daerah pertanaman mempengaruhi tingkat serangan penyakit busuk umbut.
Tanah-tanah dengan kadar liat tinggi, tingkat serangan PBP juga tinggi (Tabel
4). Kadar liat pada tanah-tanah di lokasi dengan tingkat serangan < 4%
berbeda nyata dengan kadar liat tanah pada lokasi dengan tingkat serangan PBP
> 4%. Berdasarkan analisis tekstur tanah ternyata tanah dengan kadar liat
> 20 mempunyai resiko tingkat serangan penyakit yang tinggi dibandingkan
tanah dengan kadar liat < 20 persen (Akuba et al., 1991).
Penyebaran cendawan P. palmivora dapat disebabkan oleh tiga
faktor yaitu patogen, inang dan faktor lingkungan.
1. Faktor
Patogen
Hasil identifikasi
sampel tanah penyakit busuk umbut ternyata ada tiga spesies penyebab penyakit,
yaitu Phytophthora palmivora, Phytophthora arecae, Phytophthora nicotianae tetapi yang
dominan adalah Phytophthora palmivora
(Warokka, 1991). Masing-masing spesies ditemukan mating type A1 dan A2 yang
beragam sehingga memungkinkan tercipta strain baru yang lebih patogenetik.
2. Faktor Tanaman Inang
Cendawan
P.
palmivora merupakan salah satu patogen yang mempunyai inang
berbagai jenis tanaman dan sudah diketahui pada 29 famili, 51 genus dan 138
jenis tanaman diantaranya, pepaya, kakao, lada (Chee, 1969, Ribeiro, 1978).
Pertanaman campuran masih perlu dipertimbangkan karena dapat secara timbal
balik berperan sebagai inang alternatif sehingga pada kondisi lingkungan
menguntungkan patogen berkembang dan menular pada tanaman inangnya.
3. Faktor Lingkungan
a. Pengaruh iklim.
Serangan penyakit gugur buah dan busuk pucuk
berhubungan dengan musim penghujan. Curah hujan berinteraksi dengan kelembaban,
fluktuasi suhu dan cahaya. Daerah yang sering tergenang air menyebabkan
kelembaban tanah cukup tinggi dan merupakan media tumbuh yang baik bagi
cendawan P. palmivora. Untuk
memperkecil resiko berkembangnya penyakit, maka diperlukan pemetaan daerah
rawan yang didasarkan pada curah hujan, yaitu daerah rawan dengan curah hujan
di atas 300 mm/tahun dan bulan basah (200 mm/bulan) lebih 6 bulan; daerah agak
rawan dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan bulan basah 5-6 bulan; dan
daerah tidak rawan dengan curah hujan lebih kecil 2000 mm/tahun dan bulan basah
lebih kecil 4 bulan (Akuba, 1993).
b. Pengaruh umur tanaman/buah.
Tanaman yang terserang penyakit ini terjadi pada
tanaman yang mulai berproduksi sampai tanaman dewasa.
c. Media tumbuh dan pembawa penyakit.
Inokulum P.
palmivora yang tersedia di lapangan membantu terjadinya infeksi pada
tanaman karena P. palmivora dapat
hidup dan berkembang biak dalam tanah dengan atau tanpa tanaman inang. Secara
umum diketahui bahwa P. palmivora mudah
terbawa angin, air, hewan, serangga, dan manusia dari satu tempat ke tempat
lainnya.
6. Pengelolaan Secara Terpadu
1.
Penggunaan varietas tahan
Perakitan kelapa unggul
dengan menyilangkan dua jenis kelapa secara genotipe berbeda bertujuan untuk
mendapatkan tanaman yang cepat berbuah dan produksi hasil tinggi. Masalah yang
muncul di lapangan ternyata kelapa hibrida yang disebarkan ke petani sangat
peka terhadap Penyakit busuk umbut kelapa(Warokka dan Mangindaan, 1992). Usaha
pengendalian terhadap kedua penyakit ini masih belum tuntas dan terbatas pada
tindakan pencegahan seperti dengan menggunakan fungisida sistemik (Motulo et
al., 1993; Kharie et al., 1993) ataupun anjuran dengan menebang pohon yang
menunjukkan gejala serangan. Cara-cara tersebut oleh petani kelapa sering
dianggap mahal dan sulit dilakukan secara berkesinambungan.
Salah satu cara
pengendalian yang efektif adalah penggunaan varietas yang tahan penyakit.
Keuntungannya antara lain mengurangi penggunaan pestisida sehingga biaya
produksi dapat ditekan, tidak mencemari lingkungan, aman dan mudah dilakukan
petani. Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya keragaman sifat ketahanan terhadap
serangan P. palmivora dari beberapa
varietas kelapa. Brahmana (1991) melakukan penelitian di laboratorium diperoleh
bahwa varietas kelapa yang tahan penyakit gugur buah ada hubungannya dengan
kandungan senyawa fenol yang tinggi pada buah kelapa.
2 Eradikasi/Pemusnahan
tanaman terserang
Semua pohon yang sudah
terserang busuk umbut baik yang sudah mati maupun yang masih menunjukkan gejala
serangan baru harus ditebang/dimusnahkan. Semua bagian mahkota pohon dibakar
untuk menghilangkan sumber inokulum P.
palmivora. Pohon-pohon yang sudah mati dan tunggul kelapa sisa penebangan
dibakar atau dikeluarkan dari kebun. Jika dibiarkan di lapangan maka akan
menjadi tempat berkembang biak kumbang kelapa (Oryctes rhinoceros). Hal ini terlihat dengan jelas kerusakan daun
kelapa akibat serangan hama ini di beberapa kebun petani yang dikunjungi.
3 Pengendalian kimia
Untuk mencegah
perkembangan dan penularan penyakit di hamparan kebun perlu dilakukan
pengendalian secara kimia dengan menggunakan fungisida sistemik seperti
Fosetyl-Al dosis 8 g bahan aktif per enam bulan. Fungisida ini juga dapat
menekan perkembangan PGB (Kharie et al., 1993). Warokka et al. (1989)
menyatakan bahwa injeksi akar Aliette CA dan Phosphoric acid dapat mencegah
serangan cendawan P. palmivora. Dosis
minimum yang dapat digunakan untuk mencegah serangan penyakit ini adalah 8 g
Aliette CA atau 5.6 g Phosphoric acid per pohon per tahun.
Pengendalian kimia
dianjurkan dilakukan terhadap semua pohon dalam kebun untuk mencegah terinfeksi P. palmivora. Apabila pengendalian
kimia hanya dilakukan secara spot, pengendalian dilakukan terhadap pohon
terserang dan pohon-pohon disekitarnya sampai pada lapisan kedua dari pohon
terserang. Pelaksanaan pengendalian kimia dilakukan pada saat setelah panen
kelapa, hal ini dimaksudkan agar residu pestisida sudah terurai didalam tanaman
pada saat panen berikutnya sehingga aman untuk dikonsumsi. Pengendalian kimia
dapat dilakukan melalui teknik infus akar, injeksi batang maupun penyemprotan,
disesuaikan dengan kondisi tanaman di lapangan.
a. Teknik
infus akar
Fungisida
sistemik yang diformulasi dalam bentuk cairan seperti Fosetyl-Al 100 CA,
Folir-fos dll, lebih efektif jika diberikan melalui infus akar. Langkah-langkah
teknik infus akar sebagai berikut: Akar berdiameter 1 cm berwarna merah
kecoklatan dipotong rata menggunakan gunting stek, lalu dimasukkan dalam
kantong plastik yang berisi cairan fungisida, kemudian bagian ujung plastik
diikat dengan kawat halus atau karet gelang.
Akar
harus diatur mengarah ke bawah dengan menekan/menahannya menggunakan potongan
kayu atau lainnya supaya fungisida dalam kantong plastik tidak terbuang.
Kemudian pada bagian atas lubang ditutup dengan potongan kayu atau lainnya agar
terhindar dari gangguan hewan atau lainnya. Waktu penyerapan akar untuk 60 ml
fungisida berkisar antara 4-6 jam pada keadaan musim panas.
b.
Teknik Injeksi Batang
Pada
dasarnya teknik injeksi batang sama dengan infus akar yaitu mentranslokasikan
fungisida dari batang ke seluruh bagian tanaman. Langkahlangkah teknik injeksi
batang sebagai berikut: Dibuat lobang pada batang setinggi kurang lebih 75 –
100 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan alat bor. Dalamnya lobang
berkisar antara 8-10 cm dengan diameter 1-1.5 cm, kemudian fungisida yang telah
disiapkan dimasukkan ke dalam lobang dan ditutup/disumbat dengan menggunakan
pasak kayu.
Teknik
lain yang dapat digunakan adalah dengan alat bor dibuat lobang sedalam 2 cm
dengan diameter 1 cm. Kemudian fungisida yang telah disiapkan dalam alat
injeksi dimasukkan ke dalam lobang. Alat injeksi ini sudah dirancang sedemikian
rupa dengan menggunakan spiral penahan. Waktu yang diperlukan untuk
menghabiskan cairan fungisida untuk satu alat injeksi (volume 20 ml) berkisar
10-15 menit (Motulo, 1990),
c.
Teknik Penyemprotan
Tindakan ini dilakukan jika pada areal
serangan Penyakit Busuk Umbut. Jenis fungisida yang dapat digunakan untuk
penyemprotan adalah fungsida sistemik maupun kontak. Aplikasi fungsida kontak
dilakukan pada tanaman kelapa terserang penyakit agar dapat menghambat dan
mematikan cendawan P. palmivora.
Langkah-langkah teknik penyemprotan sebagai berikut: Fungisida yang telah
dicampur dengan air dimasukkan ke dalam alat semprot (knapsack/Solo) volume 25
liter. Pipa plastik yang dipasang pada alat penyemprot biasanya pendek untuk
ukuran tanaman kelapa, maka pipa tersebut dimodifikasi dengan menambah
sambungan pipa/selang plastik. Pipa/selang plastik tersebut diikatkan pada
bambu (berdiameter 2-3 cm) untuk memudahkan proses penyemprotan. Agar
penyemprotan berjalan dengan lancar diperlukan 2 orang untuk melakukan
penyemprotan, satu orang memikul alat semprot sambil menggerakkan pompa,
sedangkan lainnya memegang bambu semprot yang diarahkan ke mahkota pohon.
Sebaiknya penyemprotan dilakukan pada cuaca cerah, atau minimal 2-3 jam sebelum
hujan untuk memberi kesempatan tanaman menyerap bahan kimia.
4 Sanitasi
Pembersihan kebun
dengan mengeluarkan sumber penyakit seperti buah kelapa yang gugur, kotoran,
sisa-sisa buah dan bunga yang terselip pada ketiak daun harus dilakukan untuk
mencegah berkembangnya Phytophthora. Buah-buah yang jatuh/ gugur akibat
penyakit gugur buah harus dikeluarkan dari kebun dan dibakar. Dua hal penting
yang perlu diperhatikan dalam sanitasi adalah:
(a)
mencegah masuknya tanaman kelapa terinfeksi atau terkontaminasi cendawan P. palmivora,
(b)
menghindari penanaman tanaman kelapa pada lokasi yang sudah diketahui banyak
terserang penyakit ini, terutama pada tanah yang drainasenya jelek (Coffey,
1989).
DAFTAR
PUSTAKA
Akuba, R.H.
1993. Pemetaan daerah rawan serangan penyakit busuk pucuk kelapa di Indonesia.
Makalah pada KNK III, Jogyakarta 20-22 Juli 1993. 239-254.
Akuba, R.H.,
Nursuestini, J.S. Warokka dan H.F.J. Motulo, 1991. Pemetaan daerah rawan
serangan penyakit busuk pucuk kelapa di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian
Kelapa. Vol. 5 No. 1. p5-11.
Bennet, C.P.A.,
Roboth O., Sitepu D., Lolong A. 1986. Pathogenicity of Phytophthora pamivora (Butl.) Butl. Causeing premature nutfall
disease of coconut (Cocos nucifera L). Indonesia Journal of Coconut Science,
2(2):59-70.
Brahmana, J.
1991. Pengaruh senyawa fenol dalam ketahanan buah kelapa terhadap jamur Phytophthora palmivora. Prosiding
Kongres Nasional XI dan Seminar Ilmiah PFI Ujung Pandang, 2-26 September 1991.
Brasier, P.M,
1992. Evolutionary biology of Phytophthora: I. Genetic systems, sexuality and
the generation of variation. Annual Review of Phytopathology, 30:134-135.
Chee, K.H. 1969.
Hosts of Phytophthora palmivora. Rev. Appl. Mycol. Vol. 48(7).
Coffey M.D.
1989. Integrated control of Phytophthora bud rot and premature nutfall of Dwarf
and Hybrid coconuts. In: UNDP/FAO Integrated Coconut Pest Control Project.
Annual Report 1989. Coconut Research Institute, Manado, North Sulawesi,
Indonesia. 32-48.
Darwis, S.N.
1992. Phytophthora in relation to climate and coconut cultivar. Paper presented
at coconut Phytophthora workshop Manado, Indonesia.
Galindo, A.J and
M.E. Gallegly, 1960. The nature of sexuality in Phytophthora infestans.
Phytopathology, 50:123-128.
Godwin, S.B.,
B.A. Cohen, K.L. Deahl and W.E. Fry, 1994. Panglobal distribution of a single
clonal lineage of the Irish potato famine fungus. Proceedings of the National
Academy of Science, 91:11591-11595.
Kharie, S.,
H.F.J. Motulo dan J.S. Warokka. 1993. Pengaruh Fosetyl-A1 terhadap perkembangan
penyakit busuk pucuk dan gugur buah kelapa. Jurnal Penelitian Kelapa 6(2) 2-26.
Ko, W.H. 1978.
Heterothallic Phytophthora: evidence for hormonal regulation of sexual
reproduction. Journal of General Microbiology 107:15-18.
Lolong, A.,
Smith, J.J. and Holderness, M. 1998. Characterization of Phytophthora disease
of coconut in Indonesia. Paper presented at International congress of Plant
Pathology, Edinburg Scotland.
Motulo H.F.J.
1990. Teknik pengendalian penyakit Gugur buah pada tanaman Kelapa. Buletin
Balitka 11:6-9.
Motulo, H.F.J.,
S. Kharie dan J.M. Thevenin. 1993. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis Fosetyl-
A1 terhadap perkembangan penyakit busuk pucuk. Jurnal Penelitian Kelapa 6(1)
62-66.
Newhook, F.J.,
and Jackson, G.V.H. 1977. Phytophthora
palmivora in cocoa plantation soils in Soomon islands. Trans.Br.Mycol. Soc.
69:31-68.
Nursuestini,
N.L. Barri dan J. Bobihoe, 1988. Pengaruh curah hujan dan kelembaban terhadap
perkembangan penyakit gugur buah. Buletin Balitka No. 5.
Renard, J.L.
1992. Introduction to coconut Phytophthora diseases. Proc. Workshop Coconut
Phytophthora, 26-30 October 1992, 13-16.
Ribeiro, O.K.
1978. A source book of the genus Phytophthora. J. Cramer. In der A.R Gantner
Verlag Kommanditgesellschaft.
Thevenin, J.M.
1992. Coconut diseases in Indonesia-etiological aspects. Paper presented at
coconut Phytophthora workshop Manado, Indonesia.
Waller, J.M. and
Holderness, M. 1997. Beverage crops and palms. In : Hillocks, R.J. and Waller,
J.M., ed., soilborne diseases of tropical crops. Sillingford, Oxon, UK, CAB
International.
Warokka, J.S.
1991. Report of training in identification techniques for species of
Phytophthora at the Internatioal Mycological Institute England. Half year
report 1991. EEC Coconut Phytophthora Project, 32-53.
Warokka, J.S.
dan H.F. Mangindaan. 1992. Penyakit busuk pucuk dan kerugian yang
diakibatkannya. Buletin Balitka N. 16:48-52.
Warokka, J.S.,
Maskar dan H.F. Mangindaan, 1991. Pengujian patogenisitas beberapa strain Phytophthora palmivora terhadap kelapa
dan kakao. Jurnal Penelitian Kelapa. Vol. 5 No. 1. p1-4.
Weste, G. 1983.
Population dynamics and survival of Phytophthora. In: Phytophthora, Its
biology, taxonomy, ecology, and pathology (eds. Erwin, D.S., Bartnicki-Garcia,
and P.H. Tsao). APS Press. Minnesota. USA.
Whisson, S.C.,
A. Drenth, D.J. Maclean, and J.A.G. Irwin, 1994. Evidence for outcrossing in
Phytophthora sojae and linkage of a DNA marker to two avirulence genes. Current
Genetics, 27:77-82.
If you're trying to lose kilograms then you have to start following this brand new personalized keto meal plan.
ReplyDeleteTo create this keto diet, licensed nutritionists, personal trainers, and chefs have joined together to develop keto meal plans that are efficient, painless, price-efficient, and delicious.
Since their grand opening in January 2019, thousands of clients have already completely transformed their body and well-being with the benefits a professional keto meal plan can give.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover eight scientifically-certified ones provided by the keto meal plan.