Tuesday, March 14, 2017

Penyakit Busuk Umbut Pada Kelapa (cocos nucifera)

TUGAS TERSTRUKTUR
PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU
AGT (311)

Pengelolaan Penyakit Terpadu Penyakit Busuk Umbut Pada Kelapa (Cocos nucifera) oleh Cendawan Phytophthora palmivora







Description: Unsoed.jpg





Oleh :

Nama     : 1. Triana Dewi H    (A1L014105)
               : 2. Rizki Novandi     (A1L014111)









KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016



1.      Arti Penting Penyakit
Kelapa (Cocos nucifera) adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan atau Arecaceae dan adalah anggota tunggal dalam marga Cocos.  Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba guna, khususnya bagi masyarakat pesisir. Kelapa secara alami tumbuh di pantai dan pohonnya mencapai ketinggian 30 m. Tumbuhan ini berasal dari pesisir Samudera Hindia, namun kini telah tersebar di seluruh daerah tropika. Tumbuhan ini dapat tumbuh hingga ketinggian 1000 m dari permukaan laut, namun akan mengalami pelambatan pertumbuhan namun dalam budidayanya tanaman kelapa tidak pernah terlepas dari serangan hama dan penyakit.
Penyakit busuk umbut kelapa (Penyakit Busuk Pucuk) merupakan penyakit penting tanaman kelapa di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora (Butler) Butler yang dapat mengakibatkan tanaman mati dan buah gugur muda. Penyakit busuk umbut kelapa pertama kali dilaporkan menyerang tanaman kelapa di Indonesia pada tahun 1985, yang diidentifikasi penyebabnya adalah P. palmivora (Bennett et al., 1986). Selama kurun waktu ini, serangan kedua penyakit ini telah ditemukan dihampir semua areal pertanaman kelapa di Indonesia, dengan kerugian hasil diatas 80% (Darwis 1992). Serangan penyakit ini banyak dihubungkan dengan adanya inroduksi kelapa hibrida PB-121 (MAWA) dari Afrika Barat yang kenyataannya dilapangan sangat peka.
Di Indonesia, cendawan P. palmivora adalah agen utama penyebab busuk umbut kelapa (Blaha et al., 1994; Waller dan Holderness 1997), walaupun demikian ditemukan juga spesis P. arecae dan P. nicotianae berasosiasi dengan penyakit ini (Thevenin 1994). Serangan penyakit busuk umbut kelapa sangat banyak dijumpai pada musim penghujan karena dapat menunjang perkembangan penyakit. Di lapangan kedua penyakit ini jarang ditemukan berada pada satu pohon walaupun penyebab penyakitnya sama. Lolong et al., (1998) menyatakan bahwa pada beberapa daerah kehilangan hasil oleh busuk pucuk berupa tanaman mati dapat mencapai 43% dan gugur buah dapat menyerang buah muda dan gugur pada umur buah 3-7 bulan dengan kehilangan hasil mencapai 50-75% Menurut Renard dan Darwis (1992) bahwa kerusakan buah banyak terjadi pada tandan buah muda pada saat musim hujan. Kontak infeksi terjadi menyebar secara horizontal antar tandan buah atau secara vertikal yaitu antar buah dalam tangkai buah.
Permasalahan ini masih terus berlangsung dan bahkan pada beberapa daerah dilaporkan bahwa serangan penyakit busuk umbut kelapa telah dapat menyerang jenis kelapa Dalam yang sebelumnya dilaporkan tahan. Sampai saat ini cara pengendalian untuk penyakit busuk umbut kelapa sulit dilaksanakan karena tanaman yang telah terserang dapat langsung mati atau tidak dapat disembuhkan. Oleh sebab itu saat ini dianjurkan untuk melakukan tindakan pencegahan baik dengan cara sanitasi tanaman dan kebun juga perlakuan dengan bahan kimia untuk tanaman disekitarnya. Keberhasilan suatu tindakan pencegahan adalah dapat juga ditentukan dengan kemampuan dalam mengetahui siklus hidup dari patogen dan termasuk juga biologi dari patogen penyebab penyakit tersebut. Pengetahuan ini akan dapat digunakan untuk membantu pengambilan keputusan cara atau teknik pengendalian yang tepat digunakan terhadap penyakit tersebut















2.      Gejala Penyakit
Gejala serangan Penyakit busuk umbut  kelapa adalah terjadinya perubahan warna daun pada bagian pucuk terutama pada daun tombak yang belum terbuka dan daun disekitarnya. Perubahan warna terjadi secara cepat dengan warna daun muda menjadi pucat dan tidak berkilau bila kena sinar matahari. Daun muda kemudian menjadi bengkok dan layu, dan diikuti dengan mengeringnya daun-daun ditajuk bagian tengah, selanjutnya daun-daun tersebut patah dekat bagian pangkal dan membusuknya jaringan di bawah petiole yakni pada bagian titik tumbuh.
Description: Image result for busuk umbut kelapaDescription: Related image
Gambar : Gejala penyakit busuk umbut kelapa
Sumber : Ditjenbun.pertanian.go.id













3.      Penyebab Penyakit
Penyebab dari penyakit busuk umbut kelapa  yaitu cendawan Phytophthora palmivora. Genus Phytophthora adalah genus cendawan yang bersifat kosmopolitan dan mempunyai lebih kurang 60 spesies sebagai patogen tanaman. Termasuk didalamnya adalah spesies P. palmivora yang pada klasifikasi morfologinya termasuk dalam kingdom Chromista, phylum Oomycota dan ordo Peronosporales dan famili Oomycetes (Hawksworth et al., 1995; Edwin dan Ribeiro, 1996). Kunci dari ciri-ciri morfologi dari P. palmivora secara umum didasarkan pada alat reproduksi aseksual yaitu sporangia dan seksualnya dengan oospore. Sporangia dengan karakter yang mempunyai papila dan kadang-kadang dapat juga spherikal, ovoid atau obtubinat dengan ratio L:B : 1.2-1.5 : 1, caducous dengan tangkai pedisel pendek. Oospore adalah amphigynous antheridia.
Caducous sporangia dan zoospore merupakan organ penting dalam perkembangan dan penyebaran inokulum cendawan dalam menginfeksi tanaman dilapangan tersebut. Sporangia P. palmivora dapat terpencar oleh adanya percikan air hujan. Inokulum dapat terbawa dan disebarkan oleh semut dan tikus (Newhook dan Jackson, 1977). Demikian juga yang terjadi pada tanaman kelapa bahwa inokulum dapat terbawa ke bagian atas tanaman atau antar tanaman dan buah oleh serangga (Oryctes dan semut) serta tikus (Bennett et al., 1986; Lolong, 2002).
Hampir semua spesies dari Phytophthora merupakan patogen atau penyebab penyakit pada tanaman. Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor seperti:
- Kemampuan untuk memproduksi bermacam spora seperti sporangia dan zoospora untuk mempertahankan hidup dalam waktu singkat, klamidospora dan oospora untuk mempertahankan hidup dalam waktu lama.
- Sporulasi yang cepat pada jaringan tanaman, hanya berkisar 3-5 hari untuk menginfeksi. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan inokulum sekunder dalam multi siklus, dan akan cepat menular pada kondisi lingkungan yang cocok.
- Kemampuan zoospora Phytophthora untuk mengatraksi ujung-ujung akar melalui stimulus kimiawi.
- Kemampuan untuk bertahan hidup di dalam maupun di luar jaringan tanaman dalam bentuk oospora atau klamidospora untuk waktu yang lama.
-  Produksi sporangia yang dapat tertular melalui udara, angin, dan air irigasi ke kebun disekitarnya. Sporangia ini dapat langsung menginfeksi jaringan tanaman, sporangia-sporangia tersebut juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan 4-32 zoospora pada daerah yang lembab dan dingin, dan dapat menginfeksi berkali-kali dari satu sporangia.




















4.      Siklus Penyakit
Phytophthora pada dasarnya merupakan patogen tanah meskipun beberapa spesies termasuk P. palmivora dapat menginfeksi bagian-bagian tanaman di atas permukaan dan menyebabkan penyakit seperti kanker, busuk pucuk, busuk buah, dan gugur buah. Inokulum primer mengawali terjadinya epidemi penyakit apabila kondisi lingkungan menunjang perkembangannya. Inokulum primer dari Phytophthora mempertahankan diri dalam bentuk miselium dan klamidospora dalam akar yang terinfeksi, tanah, batang, dan buah. Misalnya pada buah yang tidak dipanen dan mengeras akan terbentuk sporangia pada waktu musim dingin dan menularkan inokulum pada buah di bawahnya setiap kali terjadi hujan dan berlangsung dalam waktu yang lama.
Setiap kali kondisi lingkungan kondusif untuk penyakit, inokulum primer akan berkecambah dan melakukan infeksi. Jika infeksi tersebut berlangsung dengan baik maka generasi baru dari inokulum sekunder akan terbentuk dan merupakan pemicu terjadinya epidemi. Laju propagasi dan berhasilnya propagul Phytophthora menyebabkan infeksi baru menunjukkan kurva peningkatan penyakit, sedangkan eksplosi epidemik disebabkan oleh peningkatan inokulum sekunder secara cepat.
Sporangia dari kebanyakan spesies Phytophthora palmivora dapat berkecambah jika terdapat air bebas baik di tanah, kolam, atau uap air di permukaan tanaman dan melepas sekitar 30 oospora. Zoospora berenang dan melakukan penetrasi ke bagian tanaman melalui stomata. Perkembangan sporangia secara tidak langsung melalui pelepasan zoospora sangat umum terjadi pada genus Phytophthora, beberapa spesies diantaranya dapat berkecambah secara langsung membentuk tabung kecambah sebagai jaringan yang menghubungkan dengan permukaan tanaman inang kemudian melakukan penetrasi dan menginfeksi tanaman.
Caducous sporangia dan zoospore merupakan organ penting dalam perkembangan dan penyebaran inokulum cendawan dalam menginfeksi tanaman dilapangan tersebut. Sporangia P. palmivora dapat terpencar oleh adanya percikan air hujan. Inokulum dapat terbawa dan disebarkan oleh semut dan tikus (Newhook dan Jackson, 1977). Demikian juga yang terjadi pada tanaman kelapa bahwa inokulum penyakit dapat terbawa ke bagian atas tanaman atau antar tanaman dan buah oleh serangga (Oryctes dan semut) serta tikus (Bennett et al., 1986; Lolong, 2002).
Siklus hidup dari P. palmivora dapat dilihat pada Gambar 3. Dalam proses reproduksinya dapat terjadi dalam 2 fase yaitu aseksul (diploid) dan seksual. Semua isolat P. palmivora adalah biseksual yakni dapat membentuk kedua alat seksual reproduksi jantan dan betina atau gametangia. Oleh sebab itu spesies ini lebih dikenal dengan sistem mating tipenya adalah bersifat heterotalik yang berarti membutuhkan dua bentuk mating A1 dan A2 dalam memproduksi gametangia (oospore). Proses ini dapat berlangsung pada substrat tanaman ataupun didalam tanah bila lingkungan sangat cocok untuk melakukan reproduksi. Menurut McAlpine (1910) bahwa siklus hidup P. palmivora dari sporangium ke sporangium baru dapat terjadi dalam 7 jam.
Semua isolat Phytophthora potensial memiliki reproduksi ganda (biseksual) yang memungkinkan memproduksi struktur seksual jantan dan betina, atau gametangia (Galindo dan Gallegly, 1960). Namun demikian hanya setengah dari genus Phytophthora merupakan spesies homotalik dan dapat memproduksi oospora secara cepat dalam jumlah yang banyak pada kultur tunggal. Spesies lainnya merupakan heterotalik spesies yang memproduksi gametangia sebagai respons terhadap stimulasi kimiawi dari satu isolat dengan mating type yang berlawanan (Brasier, 1992; Ko, 1978).
Sistem yang berlangsung pada spesies yang heterotalik dengan melibatkan mating type A1 dan A2 dan terjadi secara umum pada genus Phytophthora. Spesies yang homotalik ternyata secara invitro melakukan silang luar dengan level yang rendah (Whisson et al., 1994), sedangkan spesies yang heterotalik melakukan silang dalam dengan level yang rendah (Godwin et al., 1994).
Reproduksi seksual memiliki sejumlah peran dalam siklus hidup P. palmivora, dan memungkinkan terjadinya rekombinasi allel pada spesies yang heterotalik, sedangkan pada kedua spesies baik heterotalik maupun homotalik, oospora dapat berperan sebagai struktur yang dapat bertahan hidup dalam waktu lama di luar tanaman inang. Oospora juga dapat menginfeksi jaringan tanaman dalam kondisi lingkungan yang panas dan kering.




























5.      Faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan penyakit
Jumlah curah hujan tahunan berkorelasi nyata dengan tingkat serangan penyakit busuk pucuk. Makin tinggi curah hujan tahunan suatu daerah makin tinggi pula serangan penyakit. Tingkat serangan penyakit usuk umbut kelapa selain dipengaruhi oleh jumlah curah hujan tahunan, juga ditentukan oleh penyebaran jumlah curah hujan tahunan. Makin banyak bulan berurutan dengan curah hujan > 200 mm/bulan makin tinggi serangan penyakit (Akuba et al., 1991). Jumlah curah hujan menentukan kadar air tanah. Weste (1983) mengemukakan bahwa kadar air (tanah dan udara) merupakan unsur penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi Phytophthora sp. Tingkat kadar air yang tinggi di tanah dan udara menyebabkan peningkatan kelembaban udara dan air bebas di permukaan tanaman. Pembentukan dan penyebaran spora P. infestans dan P. palmivora terjadi pada kelembaban udara yang tinggi. Penelitian di KP. Paniki, Sulawesi Utara menunjukkan bahwa persentase gugur buah pada kelapa Genjah Kuning Nias yang disebabkan oleh P. palmivora meningkat secara proporsional dengan meningkatnya kelembaban udara, sedangkan kelembaban udara sangat dipengaruhi oleh curah hujan (Nursuestini, Barri dan Bobihoe, 1988).
Karakteristik tanah di daerah pertanaman mempengaruhi tingkat serangan penyakit busuk umbut. Tanah-tanah dengan kadar liat tinggi, tingkat serangan PBP juga tinggi (Tabel 4). Kadar liat pada tanah-tanah di lokasi dengan tingkat serangan < 4% berbeda nyata dengan kadar liat tanah pada lokasi dengan tingkat serangan PBP > 4%. Berdasarkan analisis tekstur tanah ternyata tanah dengan kadar liat > 20 mempunyai resiko tingkat serangan penyakit yang tinggi dibandingkan tanah dengan kadar liat < 20 persen (Akuba et al., 1991).
Penyebaran cendawan P. palmivora dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu patogen, inang dan faktor lingkungan.
1.      Faktor Patogen
Hasil identifikasi sampel tanah penyakit busuk umbut ternyata ada tiga spesies penyebab penyakit, yaitu Phytophthora palmivora, Phytophthora arecae, Phytophthora nicotianae tetapi yang dominan adalah Phytophthora palmivora (Warokka, 1991). Masing-masing spesies ditemukan mating type A1 dan A2 yang beragam sehingga memungkinkan tercipta strain baru yang lebih patogenetik.
2. Faktor Tanaman Inang Cendawan
P. palmivora merupakan salah satu patogen yang mempunyai inang berbagai jenis tanaman dan sudah diketahui pada 29 famili, 51 genus dan 138 jenis tanaman diantaranya, pepaya, kakao, lada (Chee, 1969, Ribeiro, 1978). Pertanaman campuran masih perlu dipertimbangkan karena dapat secara timbal balik berperan sebagai inang alternatif sehingga pada kondisi lingkungan menguntungkan patogen berkembang dan menular pada tanaman inangnya.
3. Faktor Lingkungan
a. Pengaruh iklim.
Serangan penyakit gugur buah dan busuk pucuk berhubungan dengan musim penghujan. Curah hujan berinteraksi dengan kelembaban, fluktuasi suhu dan cahaya. Daerah yang sering tergenang air menyebabkan kelembaban tanah cukup tinggi dan merupakan media tumbuh yang baik bagi cendawan P. palmivora. Untuk memperkecil resiko berkembangnya penyakit, maka diperlukan pemetaan daerah rawan yang didasarkan pada curah hujan, yaitu daerah rawan dengan curah hujan di atas 300 mm/tahun dan bulan basah (200 mm/bulan) lebih 6 bulan; daerah agak rawan dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan bulan basah 5-6 bulan; dan daerah tidak rawan dengan curah hujan lebih kecil 2000 mm/tahun dan bulan basah lebih kecil 4 bulan (Akuba, 1993).
b. Pengaruh umur tanaman/buah.
Tanaman yang terserang penyakit ini terjadi pada tanaman yang mulai berproduksi sampai tanaman dewasa.
c. Media tumbuh dan pembawa penyakit.
Inokulum P. palmivora yang tersedia di lapangan membantu terjadinya infeksi pada tanaman karena P. palmivora dapat hidup dan berkembang biak dalam tanah dengan atau tanpa tanaman inang. Secara umum diketahui bahwa P. palmivora mudah terbawa angin, air, hewan, serangga, dan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya.
6.      Pengelolaan Secara Terpadu
1.      Penggunaan varietas tahan
Perakitan kelapa unggul dengan menyilangkan dua jenis kelapa secara genotipe berbeda bertujuan untuk mendapatkan tanaman yang cepat berbuah dan produksi hasil tinggi. Masalah yang muncul di lapangan ternyata kelapa hibrida yang disebarkan ke petani sangat peka terhadap Penyakit busuk umbut kelapa(Warokka dan Mangindaan, 1992). Usaha pengendalian terhadap kedua penyakit ini masih belum tuntas dan terbatas pada tindakan pencegahan seperti dengan menggunakan fungisida sistemik (Motulo et al., 1993; Kharie et al., 1993) ataupun anjuran dengan menebang pohon yang menunjukkan gejala serangan. Cara-cara tersebut oleh petani kelapa sering dianggap mahal dan sulit dilakukan secara berkesinambungan.
Salah satu cara pengendalian yang efektif adalah penggunaan varietas yang tahan penyakit. Keuntungannya antara lain mengurangi penggunaan pestisida sehingga biaya produksi dapat ditekan, tidak mencemari lingkungan, aman dan mudah dilakukan petani. Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya keragaman sifat ketahanan terhadap serangan P. palmivora dari beberapa varietas kelapa. Brahmana (1991) melakukan penelitian di laboratorium diperoleh bahwa varietas kelapa yang tahan penyakit gugur buah ada hubungannya dengan kandungan senyawa fenol yang tinggi pada buah kelapa.
2 Eradikasi/Pemusnahan tanaman terserang
Semua pohon yang sudah terserang busuk umbut baik yang sudah mati maupun yang masih menunjukkan gejala serangan baru harus ditebang/dimusnahkan. Semua bagian mahkota pohon dibakar untuk menghilangkan sumber inokulum P. palmivora. Pohon-pohon yang sudah mati dan tunggul kelapa sisa penebangan dibakar atau dikeluarkan dari kebun. Jika dibiarkan di lapangan maka akan menjadi tempat berkembang biak kumbang kelapa (Oryctes rhinoceros). Hal ini terlihat dengan jelas kerusakan daun kelapa akibat serangan hama ini di beberapa kebun petani yang dikunjungi.
3 Pengendalian kimia
Untuk mencegah perkembangan dan penularan penyakit di hamparan kebun perlu dilakukan pengendalian secara kimia dengan menggunakan fungisida sistemik seperti Fosetyl-Al dosis 8 g bahan aktif per enam bulan. Fungisida ini juga dapat menekan perkembangan PGB (Kharie et al., 1993). Warokka et al. (1989) menyatakan bahwa injeksi akar Aliette CA dan Phosphoric acid dapat mencegah serangan cendawan P. palmivora. Dosis minimum yang dapat digunakan untuk mencegah serangan penyakit ini adalah 8 g Aliette CA atau 5.6 g Phosphoric acid per pohon per tahun.
Pengendalian kimia dianjurkan dilakukan terhadap semua pohon dalam kebun untuk mencegah terinfeksi P. palmivora. Apabila pengendalian kimia hanya dilakukan secara spot, pengendalian dilakukan terhadap pohon terserang dan pohon-pohon disekitarnya sampai pada lapisan kedua dari pohon terserang. Pelaksanaan pengendalian kimia dilakukan pada saat setelah panen kelapa, hal ini dimaksudkan agar residu pestisida sudah terurai didalam tanaman pada saat panen berikutnya sehingga aman untuk dikonsumsi. Pengendalian kimia dapat dilakukan melalui teknik infus akar, injeksi batang maupun penyemprotan, disesuaikan dengan kondisi tanaman di lapangan.
a.       Teknik infus akar
Fungisida sistemik yang diformulasi dalam bentuk cairan seperti Fosetyl-Al 100 CA, Folir-fos dll, lebih efektif jika diberikan melalui infus akar. Langkah-langkah teknik infus akar sebagai berikut: Akar berdiameter 1 cm berwarna merah kecoklatan dipotong rata menggunakan gunting stek, lalu dimasukkan dalam kantong plastik yang berisi cairan fungisida, kemudian bagian ujung plastik diikat dengan kawat halus atau karet gelang.
Akar harus diatur mengarah ke bawah dengan menekan/menahannya menggunakan potongan kayu atau lainnya supaya fungisida dalam kantong plastik tidak terbuang. Kemudian pada bagian atas lubang ditutup dengan potongan kayu atau lainnya agar terhindar dari gangguan hewan atau lainnya. Waktu penyerapan akar untuk 60 ml fungisida berkisar antara 4-6 jam pada keadaan musim panas.
b. Teknik Injeksi Batang
Pada dasarnya teknik injeksi batang sama dengan infus akar yaitu mentranslokasikan fungisida dari batang ke seluruh bagian tanaman. Langkahlangkah teknik injeksi batang sebagai berikut: Dibuat lobang pada batang setinggi kurang lebih 75 – 100 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan alat bor. Dalamnya lobang berkisar antara 8-10 cm dengan diameter 1-1.5 cm, kemudian fungisida yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam lobang dan ditutup/disumbat dengan menggunakan pasak kayu.
Teknik lain yang dapat digunakan adalah dengan alat bor dibuat lobang sedalam 2 cm dengan diameter 1 cm. Kemudian fungisida yang telah disiapkan dalam alat injeksi dimasukkan ke dalam lobang. Alat injeksi ini sudah dirancang sedemikian rupa dengan menggunakan spiral penahan. Waktu yang diperlukan untuk menghabiskan cairan fungisida untuk satu alat injeksi (volume 20 ml) berkisar 10-15 menit (Motulo, 1990),
c. Teknik Penyemprotan
 Tindakan ini dilakukan jika pada areal serangan Penyakit Busuk Umbut. Jenis fungisida yang dapat digunakan untuk penyemprotan adalah fungsida sistemik maupun kontak. Aplikasi fungsida kontak dilakukan pada tanaman kelapa terserang penyakit agar dapat menghambat dan mematikan cendawan P. palmivora. Langkah-langkah teknik penyemprotan sebagai berikut: Fungisida yang telah dicampur dengan air dimasukkan ke dalam alat semprot (knapsack/Solo) volume 25 liter. Pipa plastik yang dipasang pada alat penyemprot biasanya pendek untuk ukuran tanaman kelapa, maka pipa tersebut dimodifikasi dengan menambah sambungan pipa/selang plastik. Pipa/selang plastik tersebut diikatkan pada bambu (berdiameter 2-3 cm) untuk memudahkan proses penyemprotan. Agar penyemprotan berjalan dengan lancar diperlukan 2 orang untuk melakukan penyemprotan, satu orang memikul alat semprot sambil menggerakkan pompa, sedangkan lainnya memegang bambu semprot yang diarahkan ke mahkota pohon. Sebaiknya penyemprotan dilakukan pada cuaca cerah, atau minimal 2-3 jam sebelum hujan untuk memberi kesempatan tanaman menyerap bahan kimia.
4 Sanitasi
Pembersihan kebun dengan mengeluarkan sumber penyakit seperti buah kelapa yang gugur, kotoran, sisa-sisa buah dan bunga yang terselip pada ketiak daun harus dilakukan untuk mencegah berkembangnya Phytophthora. Buah-buah yang jatuh/ gugur akibat penyakit gugur buah harus dikeluarkan dari kebun dan dibakar. Dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam sanitasi adalah:
(a) mencegah masuknya tanaman kelapa terinfeksi atau terkontaminasi cendawan P. palmivora,
(b) menghindari penanaman tanaman kelapa pada lokasi yang sudah diketahui banyak terserang penyakit ini, terutama pada tanah yang drainasenya jelek (Coffey, 1989).






















DAFTAR PUSTAKA
Akuba, R.H. 1993. Pemetaan daerah rawan serangan penyakit busuk pucuk kelapa di Indonesia. Makalah pada KNK III, Jogyakarta 20-22 Juli 1993. 239-254.

Akuba, R.H., Nursuestini, J.S. Warokka dan H.F.J. Motulo, 1991. Pemetaan daerah rawan serangan penyakit busuk pucuk kelapa di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Kelapa. Vol. 5 No. 1. p5-11.

Bennet, C.P.A., Roboth O., Sitepu D., Lolong A. 1986. Pathogenicity of Phytophthora pamivora (Butl.) Butl. Causeing premature nutfall disease of coconut (Cocos nucifera L). Indonesia Journal of Coconut Science, 2(2):59-70.

Brahmana, J. 1991. Pengaruh senyawa fenol dalam ketahanan buah kelapa terhadap jamur Phytophthora palmivora. Prosiding Kongres Nasional XI dan Seminar Ilmiah PFI Ujung Pandang, 2-26 September 1991.

Brasier, P.M, 1992. Evolutionary biology of Phytophthora: I. Genetic systems, sexuality and the generation of variation. Annual Review of Phytopathology, 30:134-135.
Chee, K.H. 1969. Hosts of Phytophthora palmivora. Rev. Appl. Mycol. Vol. 48(7).

Coffey M.D. 1989. Integrated control of Phytophthora bud rot and premature nutfall of Dwarf and Hybrid coconuts. In: UNDP/FAO Integrated Coconut Pest Control Project. Annual Report 1989. Coconut Research Institute, Manado, North Sulawesi, Indonesia. 32-48.

Darwis, S.N. 1992. Phytophthora in relation to climate and coconut cultivar. Paper presented at coconut Phytophthora workshop Manado, Indonesia.

Galindo, A.J and M.E. Gallegly, 1960. The nature of sexuality in Phytophthora infestans. Phytopathology, 50:123-128.

Godwin, S.B., B.A. Cohen, K.L. Deahl and W.E. Fry, 1994. Panglobal distribution of a single clonal lineage of the Irish potato famine fungus. Proceedings of the National Academy of Science, 91:11591-11595.

Kharie, S., H.F.J. Motulo dan J.S. Warokka. 1993. Pengaruh Fosetyl-A1 terhadap perkembangan penyakit busuk pucuk dan gugur buah kelapa. Jurnal Penelitian Kelapa 6(2) 2-26.

Ko, W.H. 1978. Heterothallic Phytophthora: evidence for hormonal regulation of sexual reproduction. Journal of General Microbiology 107:15-18.

Lolong, A., Smith, J.J. and Holderness, M. 1998. Characterization of Phytophthora disease of coconut in Indonesia. Paper presented at International congress of Plant Pathology, Edinburg Scotland.

Motulo H.F.J. 1990. Teknik pengendalian penyakit Gugur buah pada tanaman Kelapa. Buletin Balitka 11:6-9.

Motulo, H.F.J., S. Kharie dan J.M. Thevenin. 1993. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis Fosetyl- A1 terhadap perkembangan penyakit busuk pucuk. Jurnal Penelitian Kelapa 6(1) 62-66.

Newhook, F.J., and Jackson, G.V.H. 1977. Phytophthora palmivora in cocoa plantation soils in Soomon islands. Trans.Br.Mycol. Soc. 69:31-68.

Nursuestini, N.L. Barri dan J. Bobihoe, 1988. Pengaruh curah hujan dan kelembaban terhadap perkembangan penyakit gugur buah. Buletin Balitka No. 5.

Renard, J.L. 1992. Introduction to coconut Phytophthora diseases. Proc. Workshop Coconut Phytophthora, 26-30 October 1992, 13-16.

Ribeiro, O.K. 1978. A source book of the genus Phytophthora. J. Cramer. In der A.R Gantner Verlag Kommanditgesellschaft.

Thevenin, J.M. 1992. Coconut diseases in Indonesia-etiological aspects. Paper presented at coconut Phytophthora workshop Manado, Indonesia.

Waller, J.M. and Holderness, M. 1997. Beverage crops and palms. In : Hillocks, R.J. and Waller, J.M., ed., soilborne diseases of tropical crops. Sillingford, Oxon, UK, CAB International.

Warokka, J.S. 1991. Report of training in identification techniques for species of Phytophthora at the Internatioal Mycological Institute England. Half year report 1991. EEC Coconut Phytophthora Project, 32-53.

Warokka, J.S. dan H.F. Mangindaan. 1992. Penyakit busuk pucuk dan kerugian yang diakibatkannya. Buletin Balitka N. 16:48-52.

Warokka, J.S., Maskar dan H.F. Mangindaan, 1991. Pengujian patogenisitas beberapa strain Phytophthora palmivora terhadap kelapa dan kakao. Jurnal Penelitian Kelapa. Vol. 5 No. 1. p1-4.

Weste, G. 1983. Population dynamics and survival of Phytophthora. In: Phytophthora, Its biology, taxonomy, ecology, and pathology (eds. Erwin, D.S., Bartnicki-Garcia, and P.H. Tsao). APS Press. Minnesota. USA.


Whisson, S.C., A. Drenth, D.J. Maclean, and J.A.G. Irwin, 1994. Evidence for outcrossing in Phytophthora sojae and linkage of a DNA marker to two avirulence genes. Current Genetics, 27:77-82.

1 comment:

  1. If you're trying to lose kilograms then you have to start following this brand new personalized keto meal plan.

    To create this keto diet, licensed nutritionists, personal trainers, and chefs have joined together to develop keto meal plans that are efficient, painless, price-efficient, and delicious.

    Since their grand opening in January 2019, thousands of clients have already completely transformed their body and well-being with the benefits a professional keto meal plan can give.

    Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover eight scientifically-certified ones provided by the keto meal plan.

    ReplyDelete